Minggu, 01 Juni 2014

Sebagai Penunjuk Umur, Suku Ini Memanjangkan Telinga

Suku Dayak (Foto: inibangsaku.com)


Tradisi memanjangkan cuping telinga menjadi salah satu keunikan budaya di Kalimantan. Meski sebenarnya tidak semua suku melakukannya, tapi budaya ini sudah terlanjur melekat dengan masyarakat dayak secara umum. Namun sayangnya dari waktu ke waktu, tradisi ini semakin menghilang, dan saat ini hanya tinggal sedikit orang Dayak yang masih memiliki cuping telinga panjang, itu pun umumnya generasi tua.


Salah satunya di Kampung Bena Baru yang dihuni sekitar 700 jiwa penduduk. Kampung Bena Baru adalah salah satu kampung pedalaman suku Dayak Kenyah yang berada di Sungai Kelay, Kecamatan Sambaliung. Kehidupan masyarakat di tempat ini masih berjalan berdampingan dengan tradisi dan kultur lokal, lengkap dengan upacara adat dan tari-tarian khasnya. Sebagian peralatan kerja dan rumah tangga merupakan hasil buatan tangan sendiri. Tapi bukan berarti penduduk kampung ini merasa asing terhadap perkembangan teknologi seperti televisi, telepon seluler, dan alat-alat elektronik lainnya. Kampung yang baru dibuka pada tahun 1980-an ini memiliki sekitar 20 orang nenek yang memiliki telinga cuping panjang. 


Daun telinga cuping panjang tidak hanya diperuntukkan bagi wanita, tetapi juga untuk laki-laki. Proses pemanjangan cuping telinga mulai dilakukan sejak bayi. Hal ini umumnya dikaitkan dengan tingkatan sosial seseorang dalam masyarakat Dayak. Bagi suku Dayak Kayan, misalnya, telinga cuping panjang menunjukkan kalau orang tersebut berasal dari kalangan bangsawan. Sementara bagi perempuan, telinga cuping panjang menunjukkan apakah dia seorang bangsawan atau budak karena kalah perang atau tidak mampu membayar utang.


Di kalangan masyarakat Dayak Kayan, pemanjangan cuping daun telinga ini biasanya menggunakan pemberat berupa logam berbentuk lingkaran gelang atau berbentuk gasing ukuran kecil. Dengan pemberat ini daun telinga akan terus memanjang hingga beberapa sentimeter.


Di desa-desa yang berada di hulu Sungai Mahakam, telinga cuping panjang digunakan sebagai identitas yang menunjukkan umur seseorang. Begitu bayi lahir, ujung telinganya diberi manik-manik yang cukup berat. Jumlah manik-manik yang menempel di telinganya akan bertambah satu untuk setiap tahun.


Tetapi ada juga anggapan yang mengatakan kalau tujuan pembuatan telinga panjang bukanlah untuk menunjukkan status kebangsawanan, tetapi justru untuk melatih kesabaran. Jika dipakai setiap hari, kesabaran dan kesanggupan menahan derita semakin kuat.


Sementara bagi suku Dayak Kenyah, antara laki-laki dan perempuan memiliki aturan panjang cuping telinga yang berbeda. Kaum laki-laki tidak boleh memanjangkan cuping telinganya sampai melebihi bahunya, sedangkan perempuan boleh memanjangkannya hingga sebatas dada. Proses memanjangkan cuping daun telinga ini diawali dengan penindikan daun telinga sejak masih berumur satu tahun. Setiap tahun, satu buah anting atau subang perak digantungkan di telinga mereka. Gaya anting atau subang perak yang digunakan pun berbeda-beda, yang akan menunjukkan perbedaan status dan jenis kelamin. Gaya anting kaum bangsawan tidak boleh dipakai oleh orang-orang biasa

Rabu, 28 Mei 2014

Teluk Kiluan, Surga Tersembunyi Selatan Sumatera

Parade Lumba-Lumba (Foto:Bismacenter)

Lumba-Lumba teluk Kiluan (Foto: Indonesia Travelling)

Menyaksikan atraksi lumba-lumba adalah daya tarik utama Teluk Kiluan. Dengan menyewa perahu cadik (jukung) seharga Rp250.000,00 hingga Rp300.000,-, Anda sudah akan bisa melihat dari dekat tarian dan lompatan puluhan bahkan ratusan lumba-lumba yang bersahabat dan bahkan dapat disentuh. Mereka senang melompat dan berenang di sisi perahu yang datang, seolah ingin menyambut kedatangan tamu manusia.

Keistimewaan lainnya, Teluk Kiluan menyuguhkan pemandangan memesona. Menikmati alam pantai tropis di pantai sekitar teluk adalah kegiatan rekreasi yang menarik untuk dilakukan baik bersama kerabat maupun sahabat. Sebagian besar pantai di kawasan Lampung memang terkenal akan pesona pantainya yang berpasir putih bersih. Air laut di teluk ini juga masih jernih dan bersih dengan warna biru toska. Anda dapat berenang atau snorkeling tak jauh dari garis pantai.  Meski tidak menyimpan keindahan taman laut penuh terumbu karang, banyak terdapat ikan-ikan laut cantik yang dapat dilihat.

Kini Teluk Kiluan semakin memikat dengan beberapa keindahan alam baru yang baru bagi wisatawan seperti Karang Pegadung yang pesonanya dikatakan mengalahkan Phi Phi Island Thailand. Ada juga Laguna dan Pasir Putih yang sayang untuk dilewatkan disambangi. 
 
Karang Pegadung (Foto: fotografer.net)

Keindahan alam di teluk ini yang sayang bila dilewatkan adalah pesona Matahari tenggelam. Jangan lupa mengabadikannya dengan kamera Anda. Besar kemungkinan momen terbaik untuk “menangkap” potret Matahari tenggelam yang sempurna di teluk ini hanya berlangsung selama beberapa menit saja. Berkeliling di sekitar kawasan teluk dengan perahu sewaan juga menarik dilakukan. Apalagi masih di tengah teluk, terdapat sebuah pulau yang dinamakan Pulau Kiluan. 
Keindahan Pulau Kiluan (Foto: ceritanya)
Keindahan Karang Teluk Kiluan (Foto: live.fifa)

Waktu terbaik mengunjungi Teluk Kiluan adalah saat musim kemarau, yaitu di kisaran bulan April hingga September. Apabila musim hujan, dikhawatirkan kondisi jalan belum memadai dan akan menghambat perjalanan Anda. Ada yang beberapa kali mengunjungi Kiluan tidak berhasil menyaksikan lumba-lumba. Oleh karenanya, akan lebih baik apabila Anda menghubungi pengelola homestay di Kiluan untuk bertanya tentang cuaca dan kemungkinan adanya lumba-lumba di sana. Perjalanan menuju Teluk Kiluan cukup menantang. Bagi Anda yang sering mabuk perjalanan disarankan membawa obat-obatan, terutama obat anti mabuk perjalanan. Bawalah bekal makan dan minum yang cukup sebab tak banyak warung atau toko yang dapat ditemui di kawasan Teluk Kiluan. Jangan lupa menggunakansunblock untuk melindungi kulit Anda dari sengatan Matahari. Bawalah pakaian ganti saat “menyambangi” lumba-lumba. Bawa pula dry pack untuk melindungi benda-benda berharga Anda, seperti kamera, HP, lensa dan benda lainnya. Jukung adalah perahu cadik yang sangat kecil dengan lebar hanya sekira 45 cm dan panjang 2.5 m. Bagi Anda yang tidak bisa berenang dan sedikit takut untuk “berburu” lumba-lumba dengan jukung, disarankan membawa live vest jacket sendiri.

Transportasi
Letak Teluk Kiluan Lampung
Berjarak sekira 80 km dari Kota Bandar Lampung, perjalanan menuju Teluk Kiluan dapat ditempuh sekira 3-4 jam. Kondisi jalan di beberapa ruas memang masih kurang memadai dan berkelok serta berbukit. Oleh karenanya, tidak disarankan menggunakan mobil sedan menuju Teluk Kiluan dan sebaiknya perjalanan dijawdalkan pada musim kemarau (bukan musim hujan).

Meski kondisi jalan kurang memadai namun pemandangan sepanjang jalan adalah hiburan bagi Anda yang merindukan suasana alam pedesaan yang asri. Bentangan sawah di kiri-kanan jalan yang menghijau tentu menyejukkan mata. Udara bersih dapat Anda nikmati sepuas-puasnya. Bukit-bukit yang gagah di kejauhan serta pepohonan menambah keharmonisan alam tanah yang dulu terkenal sebagai “Bumi Lada” ini.

Saat mendekati lokasi wisata, pemandangan rumah penduduk multietnis akan menjadi gambaran menarik untuk diingat atau diabadikan. Pura Hindu sederhana tampak di beberapa halaman rumah penduduk yang merupakan warga transmigran dari Bali. Selain etnis Bali, hidup pula dengan rukun berdampingan etnis lain, seperti Jawa, Sunda, Bugis, dan lainnya. Lampung memang terkenal sebagai lokasi transmigran yang digagas pemerintah puluhan tahun lalu.

Apabila Anda sudah tiba atau datang dari arah Pelabuhan Bakahueni, menumpanglah bus jurusan Rajabasa (AC: Rp20.000,-; ekonomi: Rp15.000,-). Anda dapat pula naik travel dengan tarif sekira Rp35.000,-. Waktu tempuh menuju Bandar Lampung adalah sekira 2 jam perjalanan. Setibanya di Bandar Lampung (Kali Balok) naiklah travel tujuan Kiluan dengan tarif Rp.45.000,-. Perjalanan memakan waktu sekira 3-4 jam.

Untuk menyaksikan lumba-lumba, biaya sewa perahu adalah Rp250.000,-/perahu, untuk 3 orang. Durasi perjalanan/sewa perahu biasanya sekira 2-3 jam. Waktu yang tepat untuk bertemu dengan lumba-lumba adalah antara pukul 6 -9 pagi.

Apabila ingin menyeberang dari Teluk Kiluan menuju Pulau Kiluan dengan menumpang jukung, biaya yang dikeluarkan adalah Rp15.000,- per orang. Jarak tempuh menuju Pulau Kiluan sekira 15 menit.

Akomodasi
Di Teluk Kiluan terdapat beberapahomestay  sederhana namun tetap nyaman. Tarif per malam sekira Rp150.000,- per kamar dan dapat ditempati 5-6 orang.

Di Pulau Kelapa (Pulau Kiluan) hanya terdapat sebuah homestay sederhana dan minim fasilitas. Homestay ini memiliki 4 kamar dengan harga sewa semalam Rp.150.000,- per kamar  yang bisa ditempati oleh 5-6 orang.

Sumber: Wonderpul Indonesia

Senin, 26 Mei 2014

Suku Kubu, Suku Mistik Yang Ditakuti

Suku Kubu (Foto: wicaksana)

Ilmu Ghaib, sensitif, dan misterius. kata-kata itulah yang tergambar dalam benak saya ketika mendengar kata suku kubu yang hidup berpindah-pindah ini. Sebagai anak melayu, saya selalu diceritakan oleh ayah bahwa suku kubu adalah suku yang mudah marah, dan mempunyai ilmu ghaib.

"Jangan meludah di adapan suku kubu kalu dendak milu die." begitulah kata ayah yang memperingatkan aku supaya jangan pernah berludah di depan suku kubu. Karena bila mereka tersinggung, konon katanya mereka akan bersumpah bahwa kita akan menjadi bagian dari mereka. Jika itu terjadi, maka kita akan mengikuti mereka kemanapun mereka pergi. 

Besar di daerah pedalaman sumatera membuat saya tidak asing dengan suku kubu ini. Pernah beberapa kali ada beberapa kelompok suku kubu ini menetap beberapa minggu di hutan ujung desa saya. Mereka biasanya membuat rumah sementara mereka dengan terpal atau dengan ranting dedaunan di tepi sungai atau danau dekat hutan. Hal ini memudahkan mereka  mendapatkan air dan mencari bahan makanan.

Dikalangan orang melayu, Suku Kubu cukup ditakuti. selain mudah marah, mereka juga ditakuti karena ilmu ghaibnya. Suku kubu biasanya mempunyai ilmu-ilmu ghaib seperti ilmu pemikat (pelet), ilmu Bulek Kolo (apa yang diucapkan terjadi), ilmu terawangan, ilmu pelaris, ilmu roh jolong (merega sukma), dan ilmu penarik rizeki. 

Di Indonesia, Suku Kubu atau yang juga disebut  Suku Anak Dalam ini terdapat di daerah Jambi dan Sumatera Selatan. Suku Anak Dalam belum terlalu dikenal oleh masyarakat Indonesia karena Suku Anak Dalam sudah sangat langka dan mereka tinggal di tempat-tempat terpencil yang jauh dari jangkauan orang-orang.

\
Rumah Orang Kubu (Foto: uvic)

Suku Anak Dalam disebut juga Suku Kubu atau Orang Rimba. Menurut tradisi lisan suku Anak Dalam merupakan orang Malau sesat yang lari ke hutan rimba disekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit Dua puluh. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo. Sistem kemasyarakatan mereka, hidup mereka secara nomaden atau tidak menetap dan mendasarkan hidupnya pada berburu dan meramu, walaupun diantara mereka sudah banyak yang telah memiliki lahan karet ataupun pertanian lanilla.

Anaka-anak Suku Kubu (Foto: indonesia media)

Sistem kepercayaan mereka adalah Polytheisme yaitu mereka mempercayai banyak dewa. Dan mereka mengenal dewa mereka dengan sebutan Dewo dan Dewa. Ada dewa yang baik adapula dewa yang jahat. Selain kepercayaan terhadap dewa mereka juga percaya adanya roh nenek moyang yang selalu ada disekitar mereka.

Pemerintah telah berupaya memberikan pendidikan kepada suku kubu agar mereka dapat mengikuti perkembangan zaman. Pemerintah juga mendirikan perkampungan trans bagi suku kubu agar mereka mulai hidup menetap dan tidak berpindah-pindah lagi. Suku Kubu juga Sangat antusias terhadap pendidikan. Khususnya suku kubu dari wilayah sumatera selatan. Mereka sangat bersemangat mengikuti belajar di sekolah. Tak hanya anak-anak saja yang bersekolah akan tetapi juga orang dewasa pun mengikutinya. Mereka berpikir bahwa dengan bersekolah mereka akan pintar dan tak mudah untuk dibodohi oleh orang luar. Walaupun masih ada sebagian kelompok yang masih hidup berpindah-pindah, namun mereka sudah memakai baju layaknya orang biasa.

Namun upaya pemerintah tersebut kurang berjalan mulus di provinsi Jambi. Suku kubu Jambi merupakan suku yang memegang erat budaya mereka. mereka tidak dengan mudah menerima budaya luar. Jika kita melihat pola kehidupan dan penghidupan mereka, hal ini disebabkan oleh keterikatan adat istiadat yang begitu kuat. Hidup berkelompok yang berpindah-pindah dengan pakaian hanya sebagian menutupi badan dengan kata lain mereka sangat tergantung dengan hasil hutan / alam dan binatang buruan.

Sumber : dari berbagai sumber

Tato Mentawai, Seni Rajah Tertua di Dunia

Tato Mentawai (Foto: kaskus)

Bagi suku Mentawai, tato atau rajah merupakan bentuk ekspresi seni dan juga perlambang status sosial dalam masyarakat. Selain itu, tato dapat pula dianggap sebagai pakaian abadi yang akan dibawa mati. Disebut pakaian sebab tato khas Mentawai di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat memang biasanya memenuhi sekujur tubuh, mulai dari kepala hingga ke kaki. Bahkan konon orang Mentawai menato tubuh mereka agar kelak setelah meninggal, mereka dapat saling mengenali leluhur mereka.  


Seperti halnya seni tato tradisional lainnya, proses pembuatan tato Mentawai dilakukan dengan alat tradisional, motif tertentu yang tidak mengalami banyak perkembangan sebab memang sudah menjadi simbol khusus atau identitas budaya. Tubuh yang akan ditato terlebih dulu digambari motif menggunakan lidi. Motif garis-garis yang merupakan motif khas tato Mentawai tidak sembarang ditorehkan melainkan mengikuti rumusan jarak tertentu. Biasanya sistem pengaturan jarak ini memanfaatkan jari, misal satu jari, dua, atau seterusnya. 

digambar kemudian ditusuk dengan jarum bertangkai kayu. Jarum biasanya menggunakan tulang hewan atau kayu karai yang diruncingkan. Tangkai kayu berjarum itu kemudian dipukul pelan-pelan dengan kayu pemukul agar zat pewarna masuk ke dalam lapisan kulit. Zat pewarna tato yang digunakan terbuat dari campuran warna alami, yaitu terbuat dari tebu dan arang tempurung kelapa. Pembuatan tato dimulai dari telapak tangan, tangan, kaki lalu tubuh. Bagian tubuh yang baru ditato biasanya akan bengkak dan berdarah selama beberapa hari. 


Selain motif garis, terdapat motif tato lainnya yang dibuat mengikuti sejumlah aturan tertentu, biasanya dibedakan berdasarkan asal kampung atau klan. Hal ini sehubungan dengan fungsi tato sebagai identitas dan jati diri suku Mentawai. Motif juga menggambarkan jati diri dan status sosial atau profesi seseorang. Tato seorang tetua adat (sikerei) akan berbeda dengan tato yang berprofesi sebagai pemburu. Pemburu akan ditato dengan gambar binatang tangkapannya, seperti burung, babi, kera, rusa, atau buaya. Sementara sikerei biasanya memiliki tato bintang sibalu-balu di tubuhnya. Menurut hasil penelitian Ady Rosa, dosen Seni Rupa Universitas Negeri Padang, Sumatera Barat, tato bagi suku Mentawai juga merupakan simbol keseimbangan alam dan keindahan. Benda-benda seperti batu, hewan dan tumbuhan juga diabadikan di tubuh mereka dalam bentuk tato.

Tato suku Mentawai disebut dengan istilah titi, sedangkan orang yang pandai menato disebut sipatiti atau sipaniti. Tidak semua orang dapat menjadi sipatiti atau sipaniti. Biasanya sipatiti atau sipaniti diberi seekor babi atau beberapa ekor ayam sebagai balas jasa bagi seni rajah yang berhasil mereka kerjakan. 

Proses pembuatan tato pun tidak boleh sembarangan melainkan mengikuti sejumlah prosedur adat yang mereka percayai dan memakan waktu yang lama. Tahap persiapannya saja bisa sampai berbulan-bulan. Sejumlah upacara dan pantangan (punen) harus dilewati atau dilakukan sebelum proses tato dilakukan. Melewati tahapan tersebut pun bukanlah hal yang mudah, sekalipun bagi orang suku Mentawai sendiri. Ritual upacara akan dipimpin oleh sikerei (dukun adat Mentawai). Tuan rumah perlu pula mengadakan pesta dengan menyembelih babi dan ayam. Biaya yang disiapkan untuk upacara membuat tato ini terbilang cukup mahal sebab dapat menghabiskan jutaan rupiah.

Kini seni tato Mentawai terancam punah; hanya sebagian kecil saja suku Mentawai yang masih menato tubuh mereka. Padahal pada zaman dahulu, tato merupakan seni rajah tubuh yang populer dan “dikenakan” baik bagi bagi laki-laki maupun perempuan Mentawai. Beberapa suku Mentawai yang masih mempraktekkan seni tato tubuh dapat ditemui di pedalaman Pulau Siberut, seperti di Desa Madobak, Ugai, Matotonan.


Ancaman punahnya seni tato ini diakibatkan oleh beberapa faktor. Selain karena perkembangan zaman dan masuknya ajaran agama ke kelompok suku Mentawai yang dulunya animisme, tato Mentawai pernah pula melewati masa pemusnahan lewat peratuhan pemerintah sekitar tahun 1980. Ratusan motif tato khas Mentawai yang pernah dilukiskan di tubuh penduduk asli Mentawai pun tidak sempat terdokumentasikan.


Hal tersebut sungguh sangat disayangkan. Ady Rosa, dosen Seni Rupa Universitas Negeri Padang yang telah lebih dari 10 tahun meneliti tato menyimpulkan bahwa tato Mentawai adalah seni rajah tubuh yang tertua di dunia. Berdasarkan penelitian yang ia lakukan, Ady menemukan bahwa tato Mentawai bahkan lebih tua usianya daripada tato Mesir. Encyclopaedia Britannicamencatat bahwa tato tertua ditemukan pada mumi di Mesir (1300 SM). Sementara, orang suku Mentawai sudah menato badan mereka sejak kedatangan mereka ke pantai barat Sumatera pada Zaman Logam (1500 SM-500 SM). 

Konon, orang Mentawai adalah suku bangsa protomelayu yang datang dari Yunan, kemudian berbaur dengan budaya dongson di Vietnam. Mereka berlayar ke Samudra Pasifik dan Selandia Baru hingga sampai di pantai Barat Sumatera. Terlebih lagi ditemukan kemiripan tato Mentawai dengan tato hasil seni budaya dongson di Vietnam. Selain itu, motif tato serupa ditemukan juga pada beberapa suku di Hawaii, Kepulauan Marquesas, suku Rapa Nui di Kepulauan Easter, serta suku Maori di Selandia Baru.

Rimpu, Jilbab Ala Orang Bima

Rimpu: Jilbab khas Suku Mbojo (Bima)
(Foto: alanmalingi)

Bila ada yang ingin berliburan ke Bima (Pulau Sumbawa) di Nusa Tenggara Barat, maka jangan kaget bila melihat sebagian wanita di desa-desa sana berpakaian seperti ninja bersarung. Itulah Jilbabnya Orang Bima, Rimpu namanya. Rimpu merupakan jilbab dari sarung khas Bima yang dililitkan di kepala. Sarung khas Bima yang digunakan untuk Rimpu adalah sarung Tembe Nggoli. 

Wanita-wanita Suku Mbojo ini sudah menggunakan Rimpu sudah dari dulu kala, bahkan jauh sebelum islam masuk Bima.Terdapat dua jenis Rimpu, yaitu Rimpu Mpida dan Rimpu Colo. rimpu Mpida merupakan Rimpu yang menututi seluruh kepala hingga dada kecuali mata. lebih tepatnya Rimpu Mpida ini seperti orang yang berjilbab dengan menggunakan cadar. Sedangkan Rimpu Colo adalah rimpu yang menutupi kepala hingga dada kecuali wajah atau seperti orang-orang berjilbab pada umumnya. 

Rimpu Mpida (Foto: harmonysultan)

Rimpu Colo (Foto: indo blog)

dahulu kala, kaum wanita Bima menggunakan Rimpu untuk menghindari panas terik matahari ketika sedang bekerja. Namun sebenarnya manfaat dari Rimpu melebihi dari sekedar menghidarkan dari panas, namun pemakaian Rimpu juga dimaksudkan agar dapat melindungi wanita dari gangguan laki-laki. Denngan menggunakan Rimpu, para laki-laki segan untuk mengganggu bahkan mereka menghormati wanita yang menggunakan Rimpu. 

Namun sayang, seiring dengan perkembangan zaman Rimpu seakan mulai tersisih dari kehidupan orang Bima. Untuk mencari orang yang masih menggunakan Rimpu ini cukup susah. hanya kalangan para orang tua saja yang masih banyak menggunakan Rimpu, khususnya di daerah pedesaan. 

Sumber: dari berbagai sumber

Sabtu, 24 Mei 2014

Mulang Pekelem: Ritual Umat Hindu Lombok

Permalink gambar yang terpasang
Upacara Mulang Pekelem di Danau Segara Anak, Rinjani
(Foto: all about lombok)

Selain dikenal memiliki keindahan alam dan pesona mistis yang meliputinya, Danau Segara Anak juga merupakan tempat suci dan pusat penyelenggaraan upacara religi bagi umat Hindu di Lombok, Nusa Tenggara Barat, yaitu Upacara Mulang Pekelem. Bagi masyarakat setempat, keberadaan Gunung Rinjani memang dianggap sebagai pusat dari semesta tata ruang Lombok. Hal ini dikarenakan masyarakat sekitar percaya bahwa Gunung Rinjani adalah pelindung sekaligus gunung kehidupan Pulau Lomboksementara Danau Segara Anak adalah penyimpan atau sumber airnya. Berawal dari kesadaran ini dan dari kepercayaan serta kesetiaan terhadap adat tradisi yang berabad usianya, masyarakat di Lombok (khususnya umat Hindu) masih melaksanakan ritual Upacara Pekelem setiap lima tahun sekali.

Ritual Mulang Pekelem (Foto: Doride)
Upacara Pekelem dilaksanakan dengan tujuan memohon dan menjaga keharmonisan alam semesta. Pekelem sendiri berarti menenggelamkan sesajen (yadnya) di air; baik air laut, danau, atau kepundan gunung. Mereka percaya bahwa danau dan laut merupakan sumber air yang tentu amat penting bagi kehidupan manusia. Danau Segara Anak yang merupakan kaldera di Rinjani, dianggap memiliki kekuatan makrokosmos. Oleh karena itu, tempat ini dianggap sebagai sakral dan tepat untuk pelaksanaan upacara suci tersebut.

Sebenarnya Upacara Pekelem ini tidak hanya dilaksanakan di Danau Segara Anak oleh Suku Sasak yang beragama Hindu di Lombok. Upacara ini adalah salah satu upacara besar dan penting bagi semua umat Hindu. Bencana dan fenomena yang menunjukkan ketidakseimbangan alam adalah beberapa alasan yang menjadi dasar dilaksanakannya upacara ini oleh masyarakat Hindu sejak berabad lamanya.
 
Danau Segara Anak, Rinjani (Foto: Wonderful Indonesia)

Beberapa bukti bahwa Upacara Pekelem adalah upacara warisan leluhur Hindu dapat dilihat dari prasasti-prasasti dan lontar-lontar yang menyebutkan tentang makna atau tujuan upacara tersebut. Salah satunya adalah Prasasti Batur Sakti; pada prasasti ini  disebutkan bahwa pada tahun Saka 833, keturunan Raja Sri Ugrasena Warmadewa menyampaikan telah ada perintah dari raja untuk tetap melaksanakan Upacara Pekelem. Upacara ini hendaknya dilaksanakan di danau, laut, dan kepundan gunung yang merupakan sumber air. Air adalah sumber kehidupan bagi manusia dan merupakan lambang kemakmuran dan kesuburan.

Dalam Lontar Bhuana Kertih disebutkan bahwa tujuan dari upacara ini adalah untuk menghilangkan hama penyakit yang datang dari sumbernya, yaitu laut atau danau. Di samping itu, tujuan lainnya adalah untuk memohon kemakmuran dan kesuburan tanah pertanian dan memohon perlindungan dari ancaman bencana alam.

Konon, pelaksanaan Upacara Mulang Pekelem pertama kali dilaksanankan di Danau Segara Anak, Gunung Rinjani pada abad XVI. Asal muasal dilaksanakannya upacara ini adalah karena Kerajaan Karang Asem dilanda kemarau panjang yang berakibat pada kekeringan dan mewabahnya berbagai macam penyakit. Raja Anglurah Karang Asem pun  melakukan sembahyang dan semadi di Gunung Sari guna mendapatkan petunjuk. Dalam semadinya tersebut beliau mendapat wangsit untuk melaksanakan Mulang Pekelem dan Yadnya Bumi Sudha pada malam purnama bulan kelima di Danau Segara Anak, Gunung Rinjani. Percaya atau tidak, selepas dilaksanakannya upacara tersebut, hujan yang dinanti-nantikan sekian lama akhirnya turun membasahi tanah Suku Sasak.

Hingga hari ini, Upacara Pekelem dilaksanakan setiap lima tahun sekali, yaitu pada purnama di bulan kelima. Tiga hari sebelum purnama yang dimaksud, umat Hindu Lombok akan berbondong-bondong mendaki Gunung Rinjani sambil membawa segala kelengkapan upacara. Tentu upaya ini tidak mudah mengingat medan pendakian yang tidak mulus dan beban perlengkapan yang tidak sedikit. Namun begitu, hal tersebut seolah bukan halangan bagi mereka dan dianggap sebagai salah satu pengorbanan yang dapat dilakukan sebagai wujud ketaatan terhadap Sang Hyang Widhi (Tuhan). Tidak hanya orang dewasa, bahkan anak-anak pun turut serta dalam upacara ini dan turut mendaki gunung agar sampai di pusat pelaksanaan upacara, Danau Segara Anak.

Dalam pendakian, segenap umat Hindu pelaksana upacara akan singgah di beberapa tempat yang dianggap suci dan bahkan menginap di titik tertentu sambil melaksanakan sembahyang. Salah satu tempat suci tersebut adalah Poprok atau Tirta Pecampuan; merupakan titik pertemuan tiga sumber mata air, yaitu air dingin dari Danau Segara Anak, air panas dari sumber mata air panas gunung, dan air belerang. Berdasar fakta tersebut, tempat ini dianggap memiliki energi spiritual yang kuat sehingga mereka akan menginap sebelum melanjutkan pendakian keesokan paginya.

Setibanya di tepian Danau Segara Anak, umat Hindu akan membangun semacam pura sementara dan mendirikan penjor untuk kebutuhan upacara. Sesaji upacara ditaruh di sembilan penjuru mata angin. Dalam proses persiapan upacara ini, akan ada beberapa peristiwa kecil nan ganjil yang menyertai. Misalnya, perubahan ekstrim cuaca di sekitar danau yang semula tenang lalu berubah berkabut dan beriak atau kejadian kesurupan di antara peserta upacara. Saat terjadi kesurupan, maka akan mulai digelar Upacara Melaspas dan Nuhur. Upacara Melaspas dimaksudkan untuk menyucikan tempat upacara dari kekuatan jahat yang datang mengganggu. Sementara Nuhur adalah lantunan yang disenandungkan guna mengundang para dewata penunggu Gunung Rinjani agar mengiringi upacara.

Pelaksanaan Mulang Pekelem biasanya akan didahului dengan pelaksanaan Yadnya Bumi Sudha. Upacara Yadnya Bumi Sudha dimulai dengan gelaran tari-tarian untuk para dewata. Upacara ini dimaksudkan untuk menyeimbangkan jagad alit (dunia manusia) dengan jagad agung. Sejumlah hewan (kerbau, kambing, sapi, dan lainnya) disembelih dan dikorbankan sebagai bentuk persembahan kepada para dewa di sembilan penjuru mata angin.  Serangkaian doa dipanjatkan agar bumi dibersihkan dari pengaruh jahat dan agar keseimbangan alam terjaga. Tidak hanya itu, umat Hindu pun melepaskan hewan ke alam bebas sehingga mereka dapat berkembang biak dan menciptakan keseimbangan alam di Gunung Rinjani. Setelahnya, kandang hewan-hewan tadi pun dibakar sebagai simbol pengembalian segala unsur kehidupan ke alam.

Keesokan harinya, barulah dimulai upacara Mulang Pekelem yang merupakan bentuk lain pengorbanan umat Hindu kepada Tuhan. Pengorbanan ini dilakukan dengan cara melarung atau menenggelamkan benda-benda berharga, seperti emas, perak, tembaga, dan uang logam yang sebelumnya dibungkus kain ke Danau Segara Anak. Logam mulia dipahat dalam berbagai bentuk hewan yang mewakili simbol-simbol harapan tertentu. Lempeng emas yang berbentuk udang melambangkan kesuburan; kura-kura melambangkan dunia; ikan adalah simbol kehidupan; dan unggas adalah simbol alam semesta. Tujuannya adalah agar dewata menganugerahkan hujan, kesuburan, dan keseimbangan alam di tanah Suku Sasak. Upacara lalu ditutup dengan pementasan Tari Topeng agar Bumi dan seluruh isinya bebas dari petaka.

Mulang Pekelem di Danau Segara Anak tidak hanya dihadiri oleh umat Hindu Lombok tetapi juga umat Hindu dari Bali, Jawa, bahkan Kalimantan. Upacara tersebut merupakan sebuah refleksi dari konsep Tri Hilta Karana, yakni suatu ritual pengorbanan atau upacara suci agar alam dibersihkan dari kekuatan jahat sehingga manusia dan alam dapat hidup secara harmonis dan saling menjaga. Selain itu, secara umum upacara ini dapat juga berfungsi sebagai wahana menumbuhkan kesadaran dan menanamkan nilai-nilai spiritual dalam rangka menjaga keharmonisan alam.

Sumber: berbagai sumber

Peresean: Uji Kejantanan Ala Suku Sasak Lombok

Peresean, Sembalun Lombok Timur 
(Foto: lombok photographer)


Peresean adalah salah satu seni tradisinal pertarungan antara dua orang petarung (pepadu) jawara asli lombok. Peresean merupakan simbol kejantanan suku sasak di Pulau Lombok. Para Petarung dilengkapi rotan sebagai pemukul disebut penjalin yang ujungnya dilapisi balutan aspal dan pecahan beling ditumbuk sangat halus dan Ende (perisai0 sebagai pelindung yang terbuat dari  kulit sapi atau kulit kerbau.


Presean atau bertarung dengan rotan adalah budaya dari Suku Sasak yang unik. Pada awalnya Presean hanya dilakukan saat upacara adat yang selalu dilaksanakan pada bulan tujuh (kalender Sasak) untuk meminta hujan. Namun kini Presean kerap dilakukan pada perayaan hari kemerdekaan RI dan menjadi tontonan yang unik dan diminati wisatawan.


Permalink gambar yang terpasang
Peresean di Lombok (Foto: all about lombok)
Presean ini dilakukan oleh dua orang lelaki Sasak yang bersenjatakan tongkat rotan (penjalin) dan memakai perisai sebagai pelindung yang terbuat dari kulit kerbau tebal yang biasa disebut Ende. Pertarungan ini dipimpin oleh dua wasit. Yakni Pakembar Sedi yaitu wasit yang berada di pinggi lapangan dan Pakembar Tengaq, yaitu wasit yang berada di tengah lapangan. Selama pertarungan berlangsung, masing-masing petarung atau pepadu saling menyerang dan menangkis sabetan lawan dengan menggunakan Ende. Petarungan diadakan dengan sistem 5 ronde. Pemenang dalam Presean ditentukan dengan dua cara yaitu ketika kepala atau anggota badan salah satu petarung mengeluarkan darah, maka pertarungan dianggap selesai dan pihak yang menang adalah yang tidak mengeluarkan darah. Kedua, jika petarung sama-sama mampu bertahan selama 5 ronde, maka pemenangnya ditentukan dengan skor tertinggi. Skor didasarkan pada pengamatan pekembar sedi terhadap seluruh jalannya pertarungan.
Uniknya, Presean juga diiringi musik yang disebut gendang (gending) presean. Alat-alat musiknya terdiri dari dua buah gendang, satu buah petuk, satu set rencek, satu buah gong dan satu buah suling. Jenis-jenis gending Presean dibagi menjadi 3 macam, yakni gending rangsang yaitu gending yang dimainkan pada saat Pakembar dengan dibantu pengadol mencari petarung dan lawan tandingnya. Kedua, gending mayuang, yaitu gending yang bertujuan untuk memberi tanda bahwa telah ada dua pepadu yang siap dan sama-sama berani melakukan Presean. Yang ketiga adalah gending beradu yaitu gending yang bertujuan untuk membangkitkan semangat petarung maupun penonton dan dimainkan selama berlangsungnya pertarungan.
Nah, walaupun namanya pertarungan, namun setiap akhir acara, masing-masing petarung harus berpelukan dan tidak menyimpan dendam. Petarung yang terluka akan segera diobati oleh dukun dengan sejenis obat minyak dan ramuan tertentu. Seni ini bertujuan untuk menguji keberanian, ketangkasan dan ketangguhan seorang pepadu dalam pertandingan. Uniknya, para pepadu tidak dipersiapkan sebelumnya karena para petarung diambil dari penonton sendiri ketika acara dimulai. Ada dua cara untuk mendapatkan pepadu atau petarung yakni dengan wasit menunjuk langsung penonton yang hadir atau seorang pepadu yang telah memasuki arena menantang penonton untuk melawannya. Tak heran jika, saat Presean digelar, penonton akan meluber di pinggir arena. Permainan ini selain seru juga menjadi aset budaya Lombok.

Permalink gambar yang terpasang
Pergasingan Hill, Sembalun (Foto: lombok photographer)

Permalink gambar yang terpasang
Peresean vs Gendang Beleq (Foto: lombok photographer)

Dari berbagai sumber